NU Lamteng– Persoalan halam-haram dan najis-tidak najisnya alkohol memang masih selalu menjadi bahan perbincangan, pertanyaan hingga perdebatan di kalangan umat Islam. Ada yang menganggapnya najis karena disamakan dengan khamr. Sebagian lain menganggap bukan najis karena sejatinya alkohol bukan khamr. Dari perbedaan ini muncullah produk-produk yang melabeli diri sebagai produk non alkohol, semisal parfum dan sejenisnya.
Kiai Abdul Wahab Ahmad, salah satu Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur merespon polemik berkepanjangan tersebut dengan gamblang. Berikut penjelasan lengkap yang redaksi ambil secara utuh dari akun Facebook Abdul Wahab Ahmad.
ALKOHOL TIDAK NAJIS
Sebenarnya saya berulang kali menyinggung ini di beberapa tulisan sebelumnya. Tetapi karena selalu banyak yang mengkonfirmasi berulang-ulang apakah parfum najis, apakah hand sanitizer najis, dan pertanyaan serupa, maka sebaiknya saya bikinkan tulisan yang secara khusus membahas soal ini saja dengan judul yang jelas dan tegas.
Sebelum membahas alkohol, perlu diketahui terlebih dahulu dua poin penting soal najis, yakni:
1. Najis tidaknya suatu barang ditentukan langsung oleh syariat tanpa adanya illat (alasan) yang diketahui. Dengan kata lain, perkara najis adalah ta’abbudi (dibuat sebagai uji ketaatan alias ibadah). Siapa patuh maka dapat pahala, siapa tidak patuh maka dosa. Inilah poin utama soal najis.
Darah yang keluar dari tubuh, kotoran manusia/hewan baik dalam bentuk feses atau kencing, nanah, hewan yang mati tanpa disembelih sesuai aturan syariat (kecuali ikan dan belalang), muntah, wadi, madzi, anjing, babi, susu binatang yang haram dimakan, organ tubuh hewan yang terpotong saat hidup dan khamer adalah barang-barang yang diberi status najis oleh syariat.
2. Karena sifatnya ta’abbudi, barang najis sudah ditentukan oleh syariat, tidak bisa ditambah dan tidak bisa pula dikurangi. Dengan kata lain, tidak berlaku kias untuk penentuan barang najis. Memang, kadang di sebagian kitab fikih ada istilah kias dalam bab najis, misalnya ungkapan bahwa setiap cairan memabukkan dikiaskan pada minuman anggur (wine), namun ungkapan semacam ini sebenarnya bukan kias tetapi memang hal yang masuk dalam kategori.
Dari dua poin di atas, dapat diketahui bahwa alkohol sama sekali tidak pernah disebutkan sebagai barang najis oleh syariat (al-Qur’an atau hadis). Karenanya, ia tidak bisa serta merta dianggap najis atau dikiaskan dengan barang najis. Siapa yang mengklaim mempunyai dalil (al-Qur’an dan hadis) bahwa alkohol najis, maka silakan keluarkan tetapi tidak mungkin bisa sebab istilah alkohol baru ada belakangan.
Masalah utama dari anggapan banyak orang bahwa alkohol adalah najis berasal dari dikiaskannya alkohol pada khamer. Ini jelas tidak tepat. Alkohol adalah suatu hal dan khamer adalah hal lain yang sangat berbeda. Memang benar bahwa khamer mengandung alkohol dan bahwasanya ia disebut sebagai minuman beralkohol, tapi yang najis adalah khamernya, bukan alkoholnya. Karena itu, agar tidak rancu maka sebut saja “khamer”, “minuman keras” atau “minuman memabukkan” jangan memakai istilah alkohol.
Sebagai sebuah unsur kimia, alkohol sama seperti unsur kimia lainnya yang hukumnya suci. Ia ada dalam berbagai hal yang dikonsumsi dan digunakan manusia berabad-abad. Dalam buah anggur, durian, apel nangka bahkan pepaya ada alkoholnya. Demikian juga dalam tape juga banyak sekali kandungan alkoholnya. Bila alkohol najis, maka pasti najislah semua makanan tersebut tetapi tidak ada yang mampu menyimpulkan demikian.
Masalahnya juga bukan pada sedikit atau banyaknya kandungan alkohol pada makanan-makanan ini, tetapi pada istilahnya yang memang bukan khamer. Apabila dari berbagai bahan beralkohol tersebut kemudian diproses menjadi khamer, maka barulah ia menjadi najis. Status najisnya karena ia masuk kategori khamer, bukan karena ia mengandung alkohol. Andai buah apel diberi setetes kencing, maka najislah buah tersebut. Sama seperti itu juga bila buah apel diberi setetes khamer juga najis tetapi bukan karena kandungan alkoholnya yang sejatinya sudah ada dalam buah tersebut.
Dengan demikian segala produk yang mengandung alkohol juga suci sebab ia tidak disebut sebagai khamer. Parfum, cologne, kosmetik, hand sanitizer dan sangat banyak produk lainnya adalah barang-barang suci selama ia dicampur dengan alkohol murni. Tetapi apabila ia dicampur dengan khamer, maka ia menjadi barang najis.
Demikian pula alkohol murni yang lumrahnya digunakan sebagai antiseptik atau disinfectan yang tersedia di apotik dengan berbagai prosentase itu, cairan tersebut suci sesuci sucinya meskipun tidak bisa digunakan untuk berwudhu. Bagaimana kalau alkohol murni itu diminum? Tentu haram karena akan membuat keracunan, sama seperti meminum bensin atau minyak gas, namun tidak najis. Bagaimana kalau ia dicampur bahan lain sehingga menjadi minuman memabukkan? Nah, ini baru najis sebab statusnya sudah menjadi khamer.
Bila anda masih susah menerima penjelasan ini karena terlanjur menyamakan antara alkohol dan khamer, maka anda ingat saja cairan yang ada di kulit yang luka, gatal atau melepuh. Cairan tersebut bila masih bening dan tidak berbau, maka hukumnya suci. Namun bila sudah berbau atau berubah warna, maka najis. Padahal sebenarnya sama saja antara keduanya hanya saja yang berbau dan berubah warna adalah cairan bening yang sudah berubah nama menjadi nanah. Sewaktu belum menjadi nanah ia suci, saat menjadi nanah ia najis. Demikian juga alkohol, sebelum menjadi khamer ia suci, saat menjadi khamer ia najis.
Semoga bermanfaat.