OPINI:
GURU MENEGUR SISWA MEROKOK, KOK MALAH DISALAHKAN?
Oleh:
M. Iqbal Saputra, S.H
LATAR BELAKANG KASUS
Belakangan ini publik sempat dikejutkan oleh kabar seorang guru sekaligus kepala sekolah SMAN 1 Cimarga Banten yang dinonaktifkan karena menegur siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Kasus ini menimbulkan keprihatinan luas: bagaimana mungkin pendidik yang menegakkan disiplin justru disalahkan, sementara pelanggar aturan seolah dilindungi?
Persoalan ini bukan sekadar polemik etika, tetapi menyentuh ranah hukum, tentang bagaimana negara melindungi otoritas guru dan menegakkan aturan di lingkungan pendidikan. Pertanyaannya yang mendasar: Siapa yang sebenarnya melanggar hukum, guru yang menegur, atau siswa yang merokok?
ISU HUKUM
- Apakah tindakan guru yang menegur siswa merokok di lingkungan sekolah dapat dikategorikan sebagai kekerasan?
- Apakah siswa yang merokok di sekolah telah melanggar hukum atau peraturan yang berlaku?
- Apakah penonaktifan guru yang menegur siswa merupakan tindakan yang sah dan proporsional menurut hukum?
DASAR HUKUM
- Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah:
- Pasal 5 ayat (1): “Setiap orang, termasuk guru dan peserta didik, dilarang merokok di lingkungan sekolah.”
- Pasal 5 ayat (2): “Kepala sekolah wajib untuk menegur dan mengambil tindakan terhadap setiap pelanggaran ketentuan tersebut.”
- UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen:
- Pasal 1 ayat (1): “Guru adalah pendidik profesional yang bertugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta didik.”
- Pasal 20 huruf (d) menegaskan bahwa guru wajib: “Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.”
- UU Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan:
- Pasal 151 ayat (1): “Sekolah merupakan area bebas rokok.”
- Pasal 437 ayat (2): “Setiap Orang yang melanggar kawasan tanpa rokok dapat dikenai denda maksimal Rp50 juta.”
- Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan:
- Pasal 3: “pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dengan perinsip kepentingan terbaik bagi anak.”
- Pasal 6: Bentuk Kekerasan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan/atau perundungan.
- UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Pasal 3: “Tujuan pendidikan ialah membentuk insan beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab.”
- Pasal 39 ayat (2): “guru adalah tenaga profesional sebagai Pembimbing dan pelatih dilingkungan sekolah.”
- Pasal 40 ayat (2): “menegaskan bahwa secara perofesional Guru berkewajiban untuk Menegakkan Mutu Pendidikan.”
ANALISIS HUKUM
- Sekolah Sebagai Kawasan Tanpa Rokok
Permendikbud No. 64 Tahun 2015 menetapkan sekolah sebagai kawasan tanpa rokok. Siswa yang merokok melanggar hukum, sedangkan kepala sekolah yang menegur menjalankan perintah undang-undang. Menegur adalah kewajiban hukum, bukan pelanggaran.
- Guru Wajib Menegakkan Aturan dan Disiplin
UU No. 14 Tahun 2005 menegaskan guru sebagai pendidik profesional yang wajib menjunjung hukum dan etika. Menegur siswa yang melanggar disiplin berarti menjalankan profesinya dengan benar, sedangkan guru yang diam justru melanggar kewajiban profesional.
- Merokok di Sekolah Adalah Pelanggaran Hukum
UU No. 17 Tahun 2023 memperjelas sekolah sebagai kawasan tanpa rokok. Pelanggar dapat didenda hingga Rp50 juta. Dengan demikian, siswa yang merokok di sekolah bukan hanya melanggar tata tertib, tetapi juga melanggar hukum positif yang berlaku secara nasional. sedangkan guru yang menegur bertindak preventif, bukan melakukan kekerasan.
- Teguran Bukan Kekerasan
Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 memang melarang segala bentuk kekerasan di sekolah. Namun, aturan ini perlu dipahami secara proporsional dan sesuai konteks pendidikan, agar tidak menyamakan ketegasan guru dengan kekerasan fisik.
- Niat (Mens Rea): Hukum menilai perbuatan dari niat pelakunya. Jika guru tidak bermaksud menyakiti, tetapi ingin mendidik dan menegakkan disiplin, maka tindakan itu tidak bisa langsung disebut kekerasan.
- Konteks Sosial Edukatif: Sekolah adalah tempat pembinaan. Jika tindakan guru dilakukan dalam rangka mendidik dan menegur pelanggaran tata tertib, bukan karena emosi atau dendam, maka konteksnya bersifat pembinaan, bukan kekerasan.
- Akibat : Suatu tindakan baru disebut kekerasan fisik bila menyebabkan luka atau trauma. Jika tidak ada akibat semacam itu, maka unsur kekerasan belum terpenuhi.
Jika setiap ketegasan/teguran keras dianggap kekerasan, maka wibawa guru akan hilang dan pendidikan karakter akan gagal tercapai.
- Perlindungan Hukum Bagi Guru
UU No. 20 Tahun 2003 menegaskan guru adalah tenaga profesional sebagai pembimbing dan penjaga mutu pendidikan. Menegur siswa yang melanggar aturan adalah bagian dari pembentukan moral dan karakter sesuai tujuan pendidikan nasional.
Dalam penerapan hukum berlaku asas lex specialis derogat legi generali, artinya aturan khusus mengesampingkan aturan umum. Maka penerapan hukum terhadap tindakan guru harus mengacu pada Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 dan UU No. 14 Tahun 2005 yang secara khusus mengatur peran guru dalam menegakkan disiplin di sekolah. Selain itu ada asas Proporsionalitas yaitu penegakan hukum yang seimbang dengan mempertimbangkan niat, konteks, dan akibat. Jika guru berniat mendidik, bertindak dalam konteks pembinaan, dan tidak menimbulkan luka atau trauma, maka tindakan itu tidak dapat disebut kekerasan.
Justru secara hukum, guru yang menegur siswa merokok telah menjalankan lima dasar hukum: (UU No. 20 Tahun 2003), (UU No. 14 Tahun 2005), (UU No. 17 Tahun 2023), (Permendikbud No. 64 Tahun 2015), dan (Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023). Artinya, ketegasan guru bukan pelanggaran hukum, melainkan pelaksanaan tugas profesional dan tanggung jawab moral untuk menegakkan disiplin dan membentuk karakter bangsa.
KESIMPULAN
- Tindakan guru menegur siswa merokok bukan kekerasan, melainkan pelaksanaan kewajiban hukum dan moral.
- Siswa yang merokok melanggar hukum (Permendikbud No. 64 tahun 2015 dan UU No. 17 tahun 2023 tentang kesehatan).
- Penonaktifan guru tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan profesi guru.
REKOMENDASI
- Guru: Tegakkan disiplin dengan etika, dokumentasikan setiap pembinaan.
- Siswa: Sadari teguran guru sebagai pembinaan, bukan kekerasan.
- Pemerintah/Dinas Pendidikan: Berikan perlindungan hukum dan administratif, hindari keputusan sepihak.
- Aparat penegak hukum: Terapkan asas proporsionalitas, pertimbangkan konteks edukatif dalam setiap pemeriksaan kasus yang terjadi di lingkungan sekolah.
PENUTUP
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran agar pendidikan kembali berwibawa. Guru adalah ujung tombak moral bangsa. Menegur pelanggaran adalah tanggung jawab profesional, bukan kejahatan. Guru yang berani menegur patut dihormati; guru yang diam justru berbahaya bagi pendidikan. Negara dan masyarakat harus mendukung guru yang menegakkan disiplin tanpa kekerasan, karena dari mereka karakter bangsa terbentuk.
M. Iqbal Saputra, S.H adalah konsultan hukum, alumnus Program Studi Hukum Keluarga Islam STISDA Lampung Tengah.





























