Sejarah Hari Santri
Oleh :
Adi Hasan Basri, S.HI
(Sekretaris PC GP Ansor Lampung Tengah masa khidmat 2012 – 2016)
Tanpa Resolusi Jihad, Tidak Ada Perlawanan Heroik. Tanpa Perlawanan Heroik, Tidak Ada Hari Pahlawan. (Jenderal Gatot Nurmantyo)
Kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan oleh Bung Karno pada tanggal 17 agustus 1945. Meski kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Belanda dan Inggris masih berusaha menduduki Tanah Air dan melancarkan serangan kepada pemerintah Indonesia. Pasukan Belanda yang ketika itu membonceng Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) bentukan Inggris, tergabung dalam Netherland Indies Civil Administration (NICA) berusaha merebut kedaulatan Indonesia dengan menyerang kota-kota di Indonesia, yang salah satunya Surabaya.
Keadaan yang sedemikian pelik membuat para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia menjadi geram, dan akhirnya jendral sudirman memberikan saran kepada Ir Soekarno sebagai president Indonesia pertama untuk meminta saran dan dukungan kepada KH Hasyim Asyari dari ancaman penjajah.
Tepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan kiai-kiai, wakil-wakil dari cabang Nahdlatul Ulama di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci alias jihad, atau saat ini populer dengan istilah Resolusi Jihad. Pada pertemuan tersebut beliau, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari berfatwa “Perang Kemerdekaan Dianggap Sebagai Perang Suci Allah(Jihad fi Sabilillah)”.
Hasil pertemuan yang dipimpin KH Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk Resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fi Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe’ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak,bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep,kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”.
Setelah pertemuan para ulama, pertempuran di Surabaya terjadi begitu sengit, sampai Mayor Jenderal E.C.Mansergh (belanda) mengeluarkan ultimatum melalui famlet yang disebar melalui pesawat terbang yang isinyi mendeskriditkan pejuang Indonesia. famlet-famlet tersebut sampailah pada KH. Hasyim Asy’ari, dengan semangat perjuangan beliau merubah resolusi jihat tanggal 22 oktober 1945 menjadi lebih operasional, yaitu berbunyi:
“Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Seruan jihad yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945 itu dengan cepat menyebar ke berbagai daerah yang berjarak sekitar 94 km dari Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah-daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon. Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945.
Ahirnya terjadilah peperangan sengit pada tanggal 10 November 1945 yang sampai saat ini kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Catatan :
Isi artikel ini sepenuhnya tanggung jawab penulis