Bumi Blambangan atau lebih dikenal oleh lapisan masyarakat dengan nama Banyuwangi menyimpan jejak sejarah yang panjang sekaligus sumbangsih peradaban yang tak pernah surut bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia. Selain sebagai daerah cikal bakal lahirnya Gerakan Pemuda Ansor pada pada 24 April 1934 yang melahirkan spirit semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan etos kepahlawanan para pemuda NU kala itu, Banyuwangi memiliki mutiara pendidikan Islam yang berkarakter khas islam rahmatan lil ‘alamin yang bernama Pondok Pesantren Darussalam, familiar diseluruh seantero santri dikenal dengan Pesantren Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi, Jawa Timur.
Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi, Jawa Timur didirikan oleh KH. Muhktar Syafa’at Abdul Ghofur, sapaan akrabnya adalah Mbah Kiai Syafa’at. Beliau lahir di Dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kecamatan Ploso Klaten, Kabupaten Kediri, pada Kamis 6 Maret 1919 / 3 Jumadil Akhir 1337.
Muhammad Fauzinuddin Faiz (MFF), penulis buku ini, menjelaskan bahwa sosok Mbah Kiai Syafa’at juga selain dikenal sebagai bapak Kiai patriot, karena terlibat langsung sebagai pejuang melawan penjajah kolonial belanda. Selain sebagai ulama, ia juga sebagai pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sumbangsih Mbah Kiai Syafa’at bagi perjalanan kehidupan masyarakat Banyuwangi tidaklah sedikit. Pada tahun 1951 Masehi, Mbah Kiai Syafa’at dengan segala perjuangannya mulai mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama “Darussalam”. Pondok yang dibangun sendiri oleh Mbah Kiai Syafa’at bersama para santrinya itu mampu bertahan hingga saat ini, bahkan berkembang begitu pesat dan berdiri semakin kokoh. Pondok pesantren yang bermula dengan didirikannya sebuah mushalla kecil tersebut, kini telah menjadi lembaga pendidikan rujukan para orang tua dari berbagai penjuru Indonesia, halaman xxxvi.
Buku istimewa ini yang ditulis oleh MFF sekaligus alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Sapen, Sleman, Jogjakarta ini terdiri dari enam (6) bagian utama, yakni;
Bagian ke – 1, menjelaskan tentang biografi dan genealogi intelektual Hadratus Syaikh al Fadhil KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur. Mbah Kiai Syafa’at adalah anak ke empat (4) dari delapan (8) bersaudara, putra Kiai Abdul Ghofur dan Nyai Sangkep. Mbah Kiai Syafa’at, lahir di Dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kecamatan Ploso Klaten, Kabupaten Kediri, pada Kamis 6 Maret 1919 / 3 Jumadil Akhir 1337. Secara beurutan putra Kiai Abdul Ghofur dan Nyai Sangkep adalah sebagai berikut; Ahmad Salimin, Uminatun (selanjutnya bernama Hj. Fatimah), Usman (wafat masih kecil), Mukhtar Syafa’at, Sampi, Sarminah, Muhammad Muhsin, dan Kainem. Dari kedelapan bersaudara itu, hanya Mbah Kiai Syafa’at yang benar-benar mendalami ilmu keagamaan dan pengembaraannya dari Pesantren satu ke Pesantren lainnya.
Dari silsilah jalur ayahnya, Mbah Kiai Syafa’at bin Kiai Abdul Ghofur bin Kiai Shobar Iman bin Sultan Hamengkubowono III (keturunan Pangeran Diponegoro). Dari garis ibunya, Mbah Kiai Syafa’at putra Nyai Sangkep binti Kiai Abdurrahman bin Kiai Abdullah bin Kiai Untung Suropati (keturunan prajurit Untung Suropati). Jadi, jelaslah bahwa dalam diri Mbah Kiai Syafa’at terdapat mengalir “darah biru” sebagai sebutan untuk titisan atau keturunan ulama dan atau bangsawan.
Pengembaraan intelektual ilmu keagamaan Mbah Kiai Syafa’at telah dimulai sejak kecil, Kiai Syafa’at muda telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami ilmu keagamaan Islam, masa kecilnya telah mempelajari kitab-kitab meliputi; sullam taufiq, sullam safinah, tajwid, dan lain-lain.
Proses remaja hingga dewasa Mbah Kiai Syafa’at muda berguru kepada KH. Hasan Abdi atau lebih populer Kiai Sangadi di Banyuwangi, kemudian mondok di Pesantren Tebuireng, Jombang asuhan KH. Hasyim Asy’ari, kemudian mondok di Pesantren Minhajut Thullab Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi asuhan KH. Abdul Mannan, kemudian mondok di Pesantren Ibrahimy Jalen Genteng Banyuwangi,
Pengembaraan intelektual ilmu keagamaan Mbah Kiai Syafa’at selama dari pesantren ke pesantren tersebut dilaluinya selama 23 (dua puluh tiga) tahun, telah diserap olehnya ilmu – ilmu dari guru-gurunya, antaralain; nahwu, sharraf, fiqih, tafsir al Quran, akhlaq tasawuf, dan lain-lain, halaman, 1 – 52.
Bagian ke – 2, menguraikan tentang Mbah Kiai Syafa’at, Imam Ghazalinya Tanah Jawa. MFF yang juga alumni PMII Rayon Syari’ah UIN Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur ini menuliskan, Mbah Kiai Syafa’at adalah Imam Ghazalinya Tanah Jawa atau titisan Imam al Ghazali, menancap pada diri Mbah Kiai Syafa’at. Beliau sangat mengikuti dan berpegang teguh dalam mengamalkan ajaran tasawwuf, utamanya pesan-pesan dalam Kitab Ihya Ulumuddiin dan Kitab Fatihatul ‘Ulum yang ditulis oleh hujjatul Islam Syaikh Imam al Ghazali. Imam Al Gazzali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tuusi.
Rupanya konsep ilmu pengetahuan yang Mbah Kiai Syafa’at sarikan dalam diri Imam Al Ghazali ini, baik yang terakomodir dalam kitab Ihya’ Ulumuddiin dan Kitab Fatihatul ‘Ulum telah beliau praktikkan secara total. Dengan kata lain, konsep landasan berfikir, landasan bersikap, dan landasan bertindak Mbah Kiai Syafa’at banyak dipengaruhi oleh aksentuasi dan pemikiran Imam al Ghazali, halaman 53 – 65.
Bagian ke – 3, menjabarkan tentang, Mbah Kiai Syafa’at; sang skripturalis, sosialis, dan khariqul ‘adah. Mbah Kiai Syafa’at semasanya hidupnya mementingkan sekaligus mengamalkan dua hubungan sekaligus, hablum minallah (hubungan ibadah kepada Allah SWT) dan hablum minannaas (bergaul dengan masyarakat sekitar).
Sebagai contoh, Meskipun beliau pemangku Pondok Pesantren jika tiba waktunya jaga ronda, maka Mbah Kiai Syafa’at juga akan ronda. Beliau memberikan keteladanan dalam shalat berjamaah. Ia adalah Kiai anti kekerasan sekaligus penyayang binatang. Mbah Kiai Syafa’at sangat peka dengan dinamika sosial. Mbah Kiai Syafa’at adalah Kiainya para Kiai. Hal tersebut disampaikan KH. Muhyidin Abdus Shomad dari Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Antirogi, Jember, bahwa Mbah Kiai Syafa’at adalah sosok Kiai yang dianugerahi khasyatullah, yaitu kemampuan untuk menyeimbangkan antara ilmu yang dimiliki dengan perbuatan sehari-hari. Yang kita ketahui, biasanya banyak orang berilmu tapi tidak memiliki amaliyah yang proporsional dengan kapasitas keilmuannya, dan banyak pula orang yang beramal tanpa mengerti ilmunya. Mbah Kiai Syafa’at memiliki dua hal diatas, ilmu amaliyah dan ilmu yang ilmiah. Sebagai hasil khasyah tersebut memadukan ilmu dan amal, kemudian berkembanglah menjadi ilmu bathiniyah, halaman 66 – 80.
Bagian ke – 4, memaparkan tentang, Mbah Kiai Syafa’at, sang pejuang dizaman penjajahan. MFF yang juga alumni Pondok Pesantren Modern Baitul Arqom Balung, Jember, menyampaikan Mbah Kiai Syafa’at dengan Kiai-kiai lainnya di Banyuwangi dan bersama santri-santrinya ikut berperan melawan Belanda dan sekutunya. Kiai Syafa’at muda menjadi lokomotif para santri di Banyuwangi untuk menggerakkan semangat juang dalam mengusir Belanda dan Jepang.
Lepas dari alam penjajahan Belanda dan Jepang, tepatnya pada tahun 1951, Mbah Kiai Syafa’at mulai merintis berdirinya Pondok Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, Pondok Pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Mbah Kiai Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat, halaman 81 – 88.
Bagian ke – 5, menarasikan tentang, kiprah dan perjuangan Mbah Kiai Syafa’at pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah di umumkan oleh Presiden Republik Indonesia ke-1, Ir. Soekarno, bahwa Indonesia telah merdeka, kiprah dan perjuangam Mbah Kiai Syafa’at tidak pernah surut dan terhenti, perjuangan beliau lebih kepada mempertahankan, memoles, dan memperbaiki sosial kemasyarakatan, NU sebagai rumah sendiri dan Indonesia.
Wujud nyata kiprah dan perjuangan Mbah Kiai Syafa’at pasca kemerdekaan Republik Indonesia di daerah Banyuwangi dan sekitarnya antaralain; mendirikan MMPP (Majelis Musyawarah Pondok Pesantren) wadah ini adalah menampung aspirasi beberapa pemangku Pondok Pesantren di daerah Banyuwangi Selatan. MMPP (Majelis Musyawarah Pondok Pesantren) berdiri pada 17 Desember 1964 bertempat di Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab, Kaligoro Sukonatar Srono Banyuwangi. Selanjutnya, Mbah Kiai Syafa’at melawan sekaligus menghadapi Gestapu Partai Komunis Indonesia. Para Kiai –Kiai di Jawa Timur serentak menyingsingkan lengan baju dan menggembleng barisan massa NU dalam rangka berjuang menumpas PKI. Akhirnya pembasmian tokoh-tokoh PKI terjadi dimana-mana.
Kiprah Mbah Kiai Syafa’at selanjutnya adalah menjaga keteladanan ulama – umara, mengabdikan diri jamiyah perkumpulan kepada Nahdlatul Ulama, mendirikan dan mengembangkan madrasah, dan bergiat dalam bahatsul masail dan kajian keagamaan, halaman 89 – 102.
Bagian ke – 6, pokok – pokok pemikiran Mbah Kiai Syafa’at. MFF yang juga pernah mengajar di SMP, SMA dan madrasah diniyah Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak, Bantul, Jogjakarta ini menyampaikan, memetakan pokok – pokok pemikiran Mbah Kiai Syafa’at dalam enam (6) hal; pertama, pemikiran tentang agama. Kedua, pemikiran tentang dakwah. Ketiga, pemikiran tentang politik. Keempat, pemikiran tentang pendidikan dan pengajaran. Kelima, pemikiran tentang nasionalisme, dan keenam, pemikiran tentang tradisi dan budaya.
Contoh, gagasan pemikiran Mbah Kiai Syafa’at dalam bidang politik, dengan lantang beliau mengatakan bahwa krisis yang menimpa suatu Negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan hendaknya dimulai dengan memperbaiki ulama itu sendiri. Pemimpin Negara tidak boleh dipisah dari ulama. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh Negara. Ulama pun harus memberikan kontribusinya dengan nasehat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin, halaman 103 – 131.
Mbah Kiai Syafa’at wafat pada Sabtu dini hari 02.00 WIB, 02 Februari 1991 M, bertepatan 17 Rajab 1411 H, saat usianya 72 tahun, ketika itu beliau masih berkhidmat sebagai Rais Syuriah PCNU Banyuwangi dan Ketua MMPP (Majelis Musyawarah Pondok Pesantren). Mbah Kiai Syafa’at dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Blokagung Banyuwangi.
Hadirnya buku ini setidaknya diharapkan memberikan manfaat dan telaah. Bagi Kiai masa kini, para santri, para alumni serta khalayak umum, keteladanan Mbah Kiai Syafa’at bisa menjadi cermin, mendalami Kiai kharismatik ini. Ulama yang memiliki dedikasi tinggi dalam mendidik, mengayomi, dan ngemong umat.
Para peneliti, pemerhati dunia Pondok Pesantren, para aktivis, para akademisi dengan membaca buku ini bisa memperkaya sejarah kebudayaan Islam berbasis kearifan lokal (local wisdom), karena masih banyak jasa – jasa, jejak – jejak para Kiai di seantero Nusantara ini yang masih terpendam belum di ekspose dan masih jarang tertulis, jarang terceritakan (untold story).
IDENTITAS BUKU :
Judul : Mbah Kiai Syafa’at Bapak Patriot dan Imam Ghazalinya Tanah Jawa
Penulis : Muhammad Fauzinuddin Faiz
Penerbit : Pustaka Ilmu Group, Bantul, Jogjakarta
Tahun Terbit : Maret, 2015
Tebal : xxxix + 170 Halaman
Nomor ISBN : 978-602-7853-66-9
PERESENSI : Akhmad Syarief Kurniawan,
warga NU, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.