PADANGRATU – Sosok nama Kiai Bustham, sudah tidak asing lagi bagi kalangan masyarakat muslim umumnya, khususnya warga nahdliyyin di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung. Beliau adalah salah satu tokoh kharismatik Thariqah di Bumi Ruwa Jurai ini.
Sebagaimana kita mafhum bersama, sudah ada beberapa tokoh – tokoh penyebar agama Islam di Propinsi Lampung yang telah terdokumentasikan dalam bentuk buku, ataupun serakan – serakan file di website – website, seperti; KH Sulaiman Rasjid dan KH Gholib, dalam 100 Tokoh Terkemuka Lampung, penulis Heri Wardoyo, dkk, diterbitkan Lampung Post Press, 2008, Jagad Spiritualitas KH Raden Rahmad Djoyo Ulomo, penulis Saifur Rijal, diterbitkan Lentera Kreasindo Yogyakarta, 2014, dan Napak Tilas Jejak Islam Lampung, penulis M. Candra Syahputra, diterbitkan Global Press, 2017, dan lain – lain.
Dan hadirnya buku ini yang ditulis Kiai Muslihudin menambah khazanah literasi sejarah, peradaban Islam sekaligus tokoh – tokoh pesantren yang ada di seantero Nusantara umumnya dan di Propinsi Lampung khususnya.
Beliau lahir di Lengkong Wonoresik Wonosari Kebumen Jawa Tengah pada tahun 1890. Ayahnya bernama Sandikrama bin Dulah Siroj, sedang ibunya bernama Syartiyah. Masa kecil Bustham dihabiskan di kampung halaman tempat kelahirannya sampai menginjak remaja. Perjalanan intelektual keilmuannya semasa remaja hingga beranjak dewasa menempa pendalaman ilmu keagamaan (tafaqquh fiddiin) di beberapa Pondok Pesantren di Jawa Tengah, seperti; Pesantren Kemanggungan Kroya Cilacap, Pesantren Bogangin Sumpiyuh Banyumas, Pesantren Parakan Canggah Purbalingga, hingga berguru pada Kiai Busyro Banjarnegara.
Puncak keilmuan dan spiritualitas Bustham muda ketika ia berguru kepada guru sufi kharismatik yang bernama KH Husein Zamakhsyari dari desa Parid Kawunganten Cilacap, beliau adalah Kiai Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. KH Husein Zamakhsyari inilah yang memberikan keteladanan sekaligus membentuk totalitas karakter laku sufi pada pribadi Bustham muda.
Keistimewaan – keistimewaan Bustham sudah mulai nampak sejak remaja, ia sosok yang tampan rupawan dilengkapi pula dengan suara yang merdu, sehingga banyak gadis – gadis yang terpesona, terpikat dengan Bustham muda.
Kiai Muslihudin mengulas buku ini cukup lugas, dalam tulisannya ini, ia juga menguraikan perjalanan Kiai Bustham dari Kebumen Jawa Tengah hingga ke Propinsi Lampung. Kiai Bustham muda memasuki Lampung pada tahun 1952, tanah pertama kali yang ia singgahi di Lambau Gisting Lampung Selatan (sekarang Tanggamus). Dan daerah tambatan terakhirnya adalah Way Lunik, atau saat ini lebih populer dengan Kampung Purwosari Padangratu Kabupaten Lampung Tengah. Pada tahun 1971 Kiai Bustham serta dibantu para putra – putranya mendirikan lembaga pendidikan Pondok Pesantren bernama Raudlatus Sholihin, dan pada tahun ini beliau Kiai Bustham menunaikan ibadah haji di tanah suci, dan sepulang dari tanah suci ini dengan anugerah nama baru oleh Syaikhulhajj Makkah menjadi KH Nur Muhammad Abdurrahim Busthamil Karim.
Sejumlah tokoh – tokoh Thariah dan alumni dari Pondok Pesantren Raudlatush Sholihin Purwosari Padangratu Lampung Tengah antara lain; KH Zainudin Belitang OKU Timur Sumatera Selatan, Kiai Mundzir Kalirejo Lampung Tengah, Kiai Baidlowi Metro Lampung, Kiai Abdul Basyir Batanghari Lampung Timur, Kiai Abdullah Ahmad Parerejo Pringsewu, Kiai Abu Syuja Sendang Mulyo Kalirejo Lampung Tengah, KH Misbahul Munir Ciamis Jawa Barat, KH Sudasi Cilacap Jawa Tengah, KH Zaenal Arifin Pacitan Jawa Timur, KH Sholeh Ponorogo Jawa Timur, Kiai Junaidi Tanggamus, dan Kiai Mansur Lampung Selatan.
KH Busthamil Karim wafat pada tanggal 3 November 1979 atau 11 Dzulhijah 1399 H. Selama hidupnya KH Nur Muhammad Abdurrahim Busthamil Karim menikah tiga kali, nama – nama istri beliau adalah ; Nyai Muthi’ah, Nyai Salbiyah / Nyai Memunah dan Nyai Munt’iah. Dan dikaruniai 17 Putra dan Putri, yaitu 1) Kiai Asmungi, 2) Kiai Zarqoni, 3) KH Asyiq, 4) Nyai Ruqoyah, 5) Nyai Taslimah, 6) Nyai Jurumiyah, 7) Nyai Chomsiyah, 8) Kiai Harunur Rasyid, 9) Kiai Ridwan, 10) KH Jamaludin, 11) Kiai Jumrotul Mu’minin, 12) Nyai Surotul Jusmaniyah, 13) Kiai Juli Khofi, 14) Kiai Albadji, 15) Muhajir, 16) KH Miftahudin, dan 17) Nyai Siti Asiyah.
Dengan hadirnya buku ini dapat menggugah hati kita tergerak untuk mengetahui, memahami, dan meneladani tokoh, dan selanjutnya memuliakan mereka. Sebagaimana pepatah Arab menyatakan, “Tirulah mereka, meskipun tidak mencapai seperti mereka. Karena meniru orang – orang besar itu saja sudah suatu kemenangan”.
Dan Louis Cattschallk mengatakan, “ Masa lampau manusia itu tidak mungkin ditampilkan secara utuh, tak dapat direkonstruksi oleh data ingatan sejarah apapun.” (Tim LTN NU Lamteng)
Sumber Informasi Intisari Buku:
Muslihudin, Mbah Bustham Lampung : Mengenal Guru Thariqah Lintas Jawa Sumatra, Biografi dan Wejangan Thariqahnya, Sabda Media, Yogyakarta, 2014.
Judul Asli Artikel :
Memetik Hikmah dari Perjuangan Mbah Busthamil Karim
Sumber: NU Online, terbit, 13 Mei 2019