LAMPUNG TENGAH – Kami atas nama keluarga besar Pondok Pesantren Walisongo Kampung Sukajadi, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah menyampaikan, terimakasih kepada PBNU dan dua pemateri yang hadir pada malam ini, beliau berdua adalah pengurus LBM NU PBNU, agenda ini semakin menambah semangat para santri Walisongo untuk menuntut ilmu dan alumni untuk berkhidmat di jam’iyyah perkumpulan NU, sekaligus juga bisa aktif di seluruh lapisan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo, Kiai Syaikuhul Ulum, M.Pd di aula Pesantren tersebut yang beralamatkan di Kampung Sukajadi, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung, Selasa, (5/12/2023) malam, dalam agenda Halaqah Fiqh Peradaban Jilid II.
“Agenda Halaqah Fiqh Peradaban Jilid II di Pesantren Walisongo Lampung Tengah pada malam ini mengusung tema besar “Ijtihad Ulama NU Dalam Bidang Sosial Politik”, dan akan dipandu sebagai moderator adalah, Dr. KH. Andi Ali Akbar, M.Ag, beliau adalah Wakil Katib Syuriah PWNU Lampung, sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Darusy Syafa’ah Dusun Kauman, Kampung Kotagajah, Kecamatan Kotagajah, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung,” tutupnya.
Moderator Halaqah Fiqh Peradaban Jilid II, Dr. KH. Andi Ali Akbar, M.Ag, menyampaikan, pemateri pertama pada malam ini adalah KH. Darul Azka, beliau adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pengurus LBM NU PWNU DIY, sekaligus saat ini adalah pengurus LBM NU PBNU masa khidmat 2021-2026.
“Pemateri kedua adalah KH. Abdullah Aniq Nawawi, Lc, M.A, beliau dari Propinsi Gorontalo, alumni salah satu Universitas di Maroko, mantan Ketua PCI NU Maroko, juga mengabdi sebagai dosen Unusia Jakarta, sekaligus saat ini adalah pengurus LBM NU PBNU masa khidmat 2021-2026,” urainya.
KH. Darul Azka, menyampaikan, malam istimewa ini mari kita ngaji peradaban, agenda ini adalah bagian implementasi pesan salah satu ayat yang ada di dalam Alquran, kita diperintahkan untuk meramaikan bumi dalam arti mempertahankan tradisi baik dimuka bumi, menambahkan kualitas peradaban di muka bumi.
“Dalam konteks ulama Nusantara, sebelum kemerdekaan Indonesia, Mbah KH. Hasyim Asy’ari mengajak para umat Islam memerangi para sekutu. Pangeran Diponegoro juga demikian perang gerilya melawan penjajah pada zamannya. Indonesia adalah negara bangsa NKRI, pentingnya semua elemen bangsa meneriakkan NKRI adalah harga mati,” tambahnya.
Kiai muda NU asal Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, DIY ini melanjutkan, NU dengan ijtihad politiknya, proses penerimaan asas tunggal Pancasila adalah telah diterima semua kalangan ulama.
Pada tahun 1984, terkait rumusan Pancasila, bahwa Pancasila menurut ijtihad politik NU, Pancasila bukan agama, dan Pancasila tidak bisa menggantikan agama di Indonesia.
“Perlunya kontekstualisasi pesan – pesan moral kitab kuning bisa menjawab problem modern sekarang ini. NU sudah mempersiapkan perangkat/metodologi tersebut untuk menjawab persoalan masyarakat,” imbuhnya.
“Rumusan ijtihad fiqih peradaban seperti ini harus selalu ditingkatkan, dibiasakan, forum diskusi ini sebagai tradisi pemikiran dikalangan ulama muda NU agar berfikir lebih maju, mulai dari Pengurus Anak Ranting NU, Pengurus Ranting NU, pengurus MWC NU, dan seterusnya dan lain-lain,” tutupnya.
KH. Abdullah Aniq Nawawi, LC, M.A, menyampaikan, peradaban kuncinya adalah adanya kerjasama, yakni kerjasama lintas agama, budaya dan lintas negara. Manusia adalah makhluk yang mempunyai naruni untuk mempunyai peradaban. Manusia adalah makhluk peradaban, butuh kerjasama. Peradaban tidak terhambat oleh halangan teologis, jika ada halangan teologis dicarikan solusinya.
“Kiai NU selain ditopang dengan keilmuan pesantren yang luas, sekaligus dalam, juga mempunyai daya visi yang panjang,” tambahnya.
Mantan Ketua PCI NU Maroko ini menjelasakan, ijtihad politiknya para ulama NU adalah canggih, ditopang daya batin yang dalam, contohnya, KH. Wahab Hasbullah pernah keluar dari Masyumi, beliau telah melakukan ijtihad politik.
“Pada peristiwa Muktamar NU 1936, bentuk negara kita adalah Darussalam, bahwasannya kita secara hakikat substansi kita adalah negara yang sudah Islami,” tambahnya.
“Sikap politik NU, ada dua (2) jenis, pertama, politik tingkat tinggi. Politik tingkat tinggi adalah komitmen politik kebangsaan atau politik kerakyatan. Kedua, politik tingkat rendah, politik tingkat rendah adalah jabatan – jabatan strategis politik di legislatif, seperti menjadi Presiden, Wakil Presiden, Gubenur, Wakil Gubenur, Bupati, Wakil Bupati dan lain-lain,” ujarnya.
“Kita harus bangga dengan ulama – ulama Indonesia, banyak karya kitab – kitab kuning berisi tentang siyasah (politik) yang ada di Indonesia, karakter siyasah (politik) nya adalah politik etis, inilah yang membentuk corak berfikir politik di Nusantara, karena sikap Politik NU adalah berasaskan keadilan seperti yang dijelaskan oleh mantan Rais Aam PBNU, KH. A. Sahal Mahfudh dalam kata pengantar buku Ahkamul Fuqaha,” tutupnya.
(REDAKSI)