Hukum Menjadikan Sebagian Rumah Sebagai Masjid

0
3378
Masjid-dalam-rumah

Pertanyaan

Bagaimana hukum menjadikan salah satu dari kamar atau ruangan rumah kita untuk masjid?Dan bagaimana status kamar tersebut? Apakah berlaku hukum masjid?  Kemudian saat kita jual rumah tersebut, bagaimana status kamar tersebut?

Penanya: Ustad Musliadi, Aceh

Jawaban Tim LBM

Uraian

Menjadikan sebagian bangunan maupun seluruh bangunan sebagai masjid adalah boleh. Dengan demikian pada bangunan atau bagian bangunan tersebut berlaku pula hukum-hukum masjid. Antara lain sahnya dipakai untuk melakukan i’tikaf. Namun karena sudah statusnya ketika dijadikan masjid adalah menjadi wakaf, maka bagian bangunan tersebut tidak boleh diubah, dirusak, maupun diperluas, kecuali karena sangat darurat ataupun kebutuhan.

Referensi

الفتاوى الفقهية الكبرى الجزء 3 صحـ : 274 مكتبة دار الكتب الإسلامية

وَعِبَارَةُ شَرْحِ اْلإِرْشَادِ الرَّابِعُ الْمُعْتَكَفُ فِيْهِ فَلاَ يَصِحُّ اْلاعْتِكَافُ إِلاَّ فِيْ مَسْجِدٍ لِلِاتِّبَاعِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَلِْلإِجْمَاعِ وَلاَ فَرْقَ بَيْن سُطْحِهِ وَصَحْنِهِ وَرَحْبَتِهِ الْمَعْدُوْدَةِ مِنْهُ وَأَفْهَمَ كَلاَمُهُ أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ فِيْ مُصَلَّى بَيْتِ الْمَرْأَةِ وَلاَ فِيْمَا وُقِفَ جُزْؤُهُ شَائِعًا مَسْجِدًا وَلاَ فِيْ مَسْجِدٍ أَرْضُهُ مُسْتَأْجَرَةٌ وَهُوَ كَذَلِكَ نَعَمْ رَجَّحَ اْلإِسْنَوِيُّ قَوْلَ بَعْضِهِمْ لَوْ بَنَى فِيهِ مَسْطَبَةً وَوَقَفَهَا مَسْجِدًا صَحَّ كَمَا يَصِحُّ عَلَى سُطْحِهِ وَجُدْرَانِهِ وَقَوْلُ الزَّرْكَشِيّ يَصِحُّ وَإِنْ لَمْ يَبْنِ مَسْطَبَةً مَرْدُودٌ إِذِ الْمَسْجِدُ هُوَ الْبِنَاءُ الَّذِيْ فِيْ تِلْكَ اْلأَرْضِ لاَ اْلأَرْضُ وَمِنْ هُنَا عُلِمَ أَنَّهُ يَصِحُّ وَقْفُ الْعُلُوِّ دُونَ السُّفْلِ مَسْجِدًا كَعَكْسِهِ انْتَهَتْ

Dan keterangan dalam Syarah al-Irsyad: Yang keempat dari syarat I’tikaf adalah tempat i’tikaf. Tidak sah i’tikaf kecuali dalam masjid, karena ittiba’, hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, serta keran ijma’. Tidak ada beda antara ber-itikaf di atap atau lantainya serta teras yang terbilang bagian dari masjid.

Uraian fuqoha memberikan pemahaman bahwasanya tidak sah ber-i’tikaf di tempat shalat kamarnya wanita, dan di tempat yang sebagiannya diwakafkan sebagai masjid namun belum ada batasan jelasnya, tidak sah juga di masjid yang tanahnya disewakan.

Benar demikian. Imam al-Asnawi mengunggulkan pendapat sebagian ulama bahwa jika orang itu membangun sebuah hamparan duduk dalam kamar itu lalu mewakafkannya sebagai masjid maka sah i’tikaf di tempat itu, sebagaiman sah ber’itikaf di atas atapnya ataupun dindingnya. Sedangkan pendapat az-Zarkasyi yang mengatakan sah ‘itikaf di situ meskipun tidak ada bangunan hamparan duduk, adalah tertolak. Karena yang disebut masjid adalah bangunan yang ada di tanah itu, bukan tanahnya. Dari sini dapat dipahami bahwa sah mewakafkan bagian atas bangunan saja sebagai masjid, tanpa bawahnya, begitu pula sebaliknya.

بغية المسترشدين ص ٦٤
مسألة ي) : اشترى بيتاً ووقفه مسجداً صح ، وأعطى حكمه وحرم عليه وعلى غيره هدمه وتوسيعه إلا لضرورة أو حاجة ، كخوف سقوط جدار ، ودفع حرّ وبرد ، وضيق على نحو المصلين

“Masalah Abdulloh bin Umar bin Abi Bakar bin Yahya: Seseorang membeli sebuah rumah lalu mewaqafkannya sebagai masjid maka hal itu sah. Dan rumah tersebut diberi hukum yang berkaitan dengan masjid, serta haram atas orang tersebut atau orang lain untuk merobohkannya dan memperluasnya kecuali karena darurat atau hajat. Seperti khawatir robohnya dinding, menolak panas atau dingin, dan karena sempit bagi orang-orang yang shalat.”

حاشية الشرقاوي ص ١٧٨
ولايجوز إستبدال الموقوف عندنا وإن خرب خلافا للحنفية وصورته عندهم أن يكون المحل قد آل إلى السقوط فيبدل بمحل آخر أحسن منه بعد حكم حاكم يرى صحته.

و يمتنع قسمة الموقوف أو تغيير هيئته كجعل البستان دارا وقال السبكي يجوز بثلاثة شروط أن يكون يسيرا لا يغيره مسماه وعدم إزالة شيء من عينه إلا بعض نقض لجانبه آخر وأن يكون فيه مصلحة للوقف , ولو خربت البلد وكان فيها مسجد وعمرت مسجدا بمخل أخر جاز نقل وقفه للمحل الاخر حيث تعذر إجراؤه علي المسجد الاول بأن لم يصل فيه احد

“Menurut kami tidak boleh menukar suatu wakafan meskipun ia rusak. Beda pendapat dengan ulama Hanafiyah, gambaran kasusnya menurut mereka adalah ketika suatu tempat wakafan hampir roboh, lalu diganti dengan tempat lain yang lebih baik, setelah adanya ketetapan seorang hakim yang melihat kebaikan hal tersebut.

Terlarang untuk membagi wakafan atau mengubah bentuknya. Misal membuat kebun menjadi rumah. Imam as-Subki berpendapat boleh dengan tiga syarat: perubahan itu hanya sedikit dan tidak mengubah penamaan asal bangunan atau benda wakafan, tidak adanya penghilangan sesuatu dari bentuk asalnya selain yang dirusakkan untuk menambah sisi lain, dan adanya kemaslahatan wakafan dalam pengubahan tersebut.

Jika suatu daerah menjadi kosong sedang disana ada masjid, lalu Anda meramaikan masjid di tempat lain, maka boleh memindahkan wakafnya ke tempat lain tersebut sekiranya sulit untuk menjalankan penyemarakan di masjid awal, misal kerena tidak ada seorang pun yang shalat di sana.”