Artikel Opini :
32 Tahun Lailatul Ijtima NU Seputih Surabaya
Oleh ;
Rahmat Basuki
Pasca Idul Fitri 1443 H / 2022 M, Pondok Pesantren Ashiddiqy Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, mulai mempersiapkan Akhirussanah pondok pesantren. Secara tradisi, biasanya pondok pesantren mengadakan akhirussanah pada bulan Sya’ban sebelum Ramadhan. Itu hal yang lumrah di semua pondok pesantren. Tapi beda dengan Pesantren di bagian Timur Kabupaten Lampung Tengah ini. Dia selalu melaksanakan Akhirussanah pasca Idul Fitri. Biasanya masih didalam bulan Syawal. Tampaknya, Tradisi ini sejak pertama kali berdiri dan berlangsung hingga saat ini.
Biasanya, selain akhirussanah pondok pesantren yang ditandai dengan Khataman Al-Qur’an Bil Ghoib dan Bil Nadhor, juga dibarengi dengan Haul KH. Muslih Mranggen, dan Ulang Tahun Lailatul Ijtima Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Seputih Surabaya dan 5 tahun terakhir, juga Haul KH. Ahmad Zuhri, Pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Ashiddiqy Seputih Surabaya, Lampung Tengah.
Beberapa saat yang lalu, Aku pernah bertanya pada Gus Fauzi tentang pelaksanaan Lailatul Ijtima saat ini. Acara pengajian yang juga diisi dengan kirim doa atau istiqhosah yang sudah berlangsung sejak lama. Dia teman sekaligus aktifis NU di kecamatan tersebut. “Masih tetap istiqomah jalan mas. Seperti yang dulu meski dengan perkembangan yang ada, keramaian pelaksanaannya juga berbeda”, katanya terkait pelaksanaannya. “Diadakaan setiap Malam Sabtu Kliwon, selapan sekali,” tambahnya.
Istilah selapan, atau lapanan adalah istilah jawa yang mengacu rentang waktu 35 hari. Jadi, secara hitungan hari, Lailatul Ijtima diadakan setiap 35 hari sekali.
Dulu, tahun 1998 hingga 2004, saat pernah aku nunut turu / nyantri di Pesantren Ashiddiqy. Sebenarnya ngaji juga, tapi tidak tenanan. Setiap dilaksanakan pengajian Lailatul Ijtima adalah hari besar bagi santri. Hari besar karena tidak mengaji maksudnya. Biasanya, Madrasah Diniyah habis Isya akan diliburkan. Ada beberapa bus yang disiapkan panitia untuk membawa santri ke lokasi dimana Lailatul Ijtima dilaksanakan.
Bagi santri yang taat. Mereka akan mengikuti arahan pengurus pondok. Berangkat pengajian dengan naik bus yang disediakan. sebagian santri yang naik bus, bisa naik di atap kendaraan berangkat pulang adalah kebanggaan tiada tara. Dan bagi santri yang tidak berangkat pengajian, akan mendapat dua kesenangan, nyantai di gothaan kamar. Dan yang jelas terbebas dari sawir, hafalan atau setoran Nadhoman. Dan aku termasuk bagian yang ini.
Berbicara tentang sejarah Lailatul Ijtima ini, dalam salah satu pengajiannya, Romo Yai KH Ahmad Zuhri beberapa kali cerita, bahwa pengajian yang digagas beliau adalah dawuh atau perintah KH. Marwan dari Mranggen Jawa Tengah. Beliau adalah guru KH. Ahmad Zuhri.
Dengan beberapa tokoh NU Seputih Surabaya yang lain, misalnya Mbah Ngaterin Almarhum dari Kauman, Pak Mbah Nahrowi Wonosobo, dan Pak Kiai Amin GB 1, dr. M. Fanani dan tokoh NU lainnya yang tidak aku kenal dan mungkin juga aku lupa, Pengajian ini rutin dilaksanakan dari desa satu ke desa lainnya sejak tahun 1990 an.
Jika merujuk NUpedia pada media NU Online, Lailatul Ijtima adalah tradisi NU secara nasional dan semua level kepengurusan.Tradisi ini sudah ada sejak 1930-an. Artinya kegiatan ini adalah kegiatan NU yang ada sejak generasi pertama.
Pada saat itu, PBNU juga menerbitkan Berita LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Ulama). Biasanya’ acara tersebut berisi tentang anggota NU yang meninggalkan dan didoakan bersama dan informasi yang beragam mulai dari masalah agama, politik dan lain sebagainya.
Tokoh NU Kota Metro, Abah KH. Syamsudin Thohir, salah satu mubaligh yang sering diundang untuk mengisi pengajian Lailatul Ijtima sejak awal pelaksanaan pernah cerita;
“Dulu kalau mengaji di Gaya Baru itu pasti menginap. Kan, pengajiannya malam sabtu, nah habis jumatan aku berangkat. Naik bus dari 22 Metro. Pas lapangan. nanti sampai Gaya Baru sebelum magrib. Aku kadang istirahat di Mussola, kadang juga di jemput panitia. Nanti, setelah pengajian nginap di rumah yang disediakan, pagi baru balik ke Metro kalau tidak ada acara lagi,” kenang beliau saat aku tanya tentang Lailatul Ijtima dan kenangan tentang Romo KH. Ahmad Zuhri.
Dari paparan beliau dan informasi yang ada, Lailatul Ijtima sudah dilaksanakan tahun 1990- an. Aku tidak menemukan data pasti kapan Lailatul Ijtima ini mulai dilaksanakan dan pertama kali dilaksanakan. Tapi, jika tahun 2022 ini Ulang Tahun Lailatul Ijtima yang ke 32, berarti tahun 1990 Lailatul Ijtima mulai dilaksanakan. Kira-kira demikian.
Tahun 1998-1999, karena ramai isu ninja yang mengancam para ulama, kiai dan tokoh agama, terutama dari NU, pelaksanaan Lailatul Ijtima pun menyesuaikan diri. Penyebutan Lailatul Ijtima diganti dengan Nahari Ijtima. Praktis, pelaksanaanya pun di siang hari. Jika biasanya dilaksanakan pada malam Sabtu kliwon dipindah menjadi Sabtu kliwon siang. Hingga kemudian soal Ninja itu hilang, kegiatannya pun kembali dilaksanakan dimalam hari lagi.
Nah, sejauh yang aku ketahui, pelaksanaan Lailatul Ijtima diKabupaten Lampung Tengah, atau mungkin juga di Provinsi Lampung, hanya MWC NU Seputih Surabaya yang melaksanakan Lailatul Ijtima secara rutin dan istiqomah. Tentu ini berdasarkan yang aku ketahui, mungkin ada di daerah lain tapi aku tidak mengetahuinya.
Kegiatan Lailatul Ijtima di Seputih Surabaya sebenarnya sempat menginspirasi pengurus NU dari kecamatan lain. Tapi tampaknya kurang berhasil atau justru tidak bisa dilaksanakan. Entah apa yang menyebabkan. Entah karena kuatnya pengurus MWC NU Seputih Surabaya sehingga mampu melaksanakan hingga saat ini atau karena semangat kecamatan lain yang berbeda sehingga kurang berhasil dalam keistiqomahan. Pengurus sendiri yang mengetahuinya.
Misalnya pasca Kecamatan Bandar Surabaya menjadi kecamatan defenitif dari Kecamatan Seputih Surabaya, pernah beberapa kali pengurus MWC NU Bandar Surabaya melaksanakan Lailatul Ijtima. Pelaksanaannya 3 bulan sekali, atau biasa disebut Triwulan. Tapi tak bisa bertahan lama dan dapat seistiqomah MWC NU Seputih Surabaya. Begitu pun dengan Kecamatan Rumbia, pernah juga mengadakan Lailatul Ijtima, tapi juga tidak berlanjut kegiatannya.
Di tengah banyaknya majlis pengajian dengan tujuan tertentu, majlis taklim yang diadakan kelompok tertentu, Lailatul Ijtima harus di pertahankan bahkan harus dilestarikan. Ini penting dilakukan oleh Keluarga Besar Nahdlatul Ulama di semua lapisan struktural. Bagi NU, Lailatul Ijtima itu selevel dengan Haul untuk pondok pesantren, kelompok tradisi keagamaan sebagai identitas organisasi NU.
Di tengah pengajian yang seringkali menjadi polarisasi politik. Pengajian sebagai media kampanye, Lailatul Ijtima harus tetap berjalan sebagai pengajian sebagai identitas NU. Pengajian ala NU, jauh dari kepentingan politik dan benar-benar untuk warga NU.
Setiap pengurus NU, bisa jadi belum bisa memberikan kontribusi nyata untuk NU yang masih hidup dibidang ekonomi, sosial dan kebutuhan hidup lainnya, maka pengurus NU harus memiliki waktu dan berkenan mendoakan secara bersama-sama bagi warga NU yang sudah wafat atau meninggal dunia dengan istighosah yang menjadi salah satu rangkaian acara di Pengajian Lailatul Ijtima.
Meski pengajian Lailatul Ijtima saat ini tidak seramai tempo dulu, bukan berarti harus mengurangi semangat kita untuk mengamalkannya. Hampir semua pengajian-pengajian dimasyarakat mengalami hal yang sama.
Di atas semua masalah yang terjadi karena kondisi sosial dan tingkat semangat masyarakat yang kian memudar untuk hadir di pengajian, hal yang lebih penting adalah jangan sampai tidak dilestarikan, apalagi di tinggalkan. Karena melestarikan tradisi pasti ada keberkahan dan manafaatnya. Apalagi yang kita lestarikana adalah tradisi ulama, tradisi kiai yang selama ini diteladani dan diikuti.
Rahmat Basuki, alumni Pesantren Ashiddiqy, Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, dan Ketua PC IPNU Kabupaten Lampung Tengah, masa khidmat 2009-2011.