OPINI
Optimisme Roso NU, dan Ruso NU
Oleh :
M. Bisri Tanjaly
Alumni Pesantren Krapayak Bantul, Jogjakarta 1991-1995 /
Warga NU Purwoadi, Trimurjo, Lampung Tengah
Kenyataannya banyak masyarakat yang mengklaim bahwa amaliahnya NU namun masih ada yang perlu diperkuat lagi dari segi hujjah maupun prakteknya yang akhir-akhir ini selalu jadi bulan-bulanan pihak luar (min hum) dalam masalah furu’iyah. Belum lagi terkadang sebagian warga NU terjebak pada perbedaan-perbedaan (ikhtilaf) masalah internal berskala lokal yang seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan maupun dipertahankan, ketidakharmonisan antara tokoh misalnya cuma berbeda segi pandang suatu masalah yang dipertontonkan ditengah masyarakat, kurangnya literasi yang mu’tabarah (kitab kuning) sebagai referensi kajian suatu masalah padahal semua ada dalam Keputusan Muktamar NU 1 sampai 34, kurangnya hubungan dinamis atau adaptif dengan pemerintah setempat mungkin terjalinnya cuma sesaat (temporer) tidak berkesinambungan dalam membahas pemberdayaan umat secara keseluruhan, masih ada statmen fanatisme yang berlebih dalam memaknai Aswaja an Nahdliyyah ditubuh jamaah, masih kurangnya peran para kader muda yang mengabdi dan berjuang dijajaran strategis wilayah setempat dan masih banyak lagi fakta-fakta disekitar kita yang segera dicarikan solusi bersama demi idharu Islam (mendemontrasi) eksistensinya ala NU.
Lalu bagaimana menyikapi tantangan dalam beberapa sebagian kecil dinamika tersebut? perlukah intensitas (cancut tali wondo) dengan baru dibentuknya halaqoh komunikasi dan silaturahim yang alhamdulillah sudah terwadahi sementara dalam media sosial Group Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) Kecamatan Trimurjo sebagai solusi dengan kegiatan Lailatul Ijtima’ ada beberapa agenda mendasar yang tentunya menjadi pekerjaam rumah besar bersama: pertama, menata kembali tupoksi (tugas pokok dan fungsi) KBNU dan Badan Otonom (Banom)-nya sesuai kapasitasnya masing-masing. Kedua, menyelesaikan masalah-masalah internal KBNU. Ketiga, bekerjasama dengan semua pihak ekternal baik pemerintah dan lain-lain. Dan, keempat, menyusun program tahunan dan mengevaluasinya.
Dari sini perlunya intropeksi diri entah sebagai individu maupu jam’iyyah NU semua yang merasa NU apalagi beberapa waktu lalu Kabupaten Lampung Tengah menjadi tuan rumah Muktamar ke-34 NU menjadi titik pangkal mengambil ibroh bagaimana Roso (Mencintai) NU itu akan menjadi Ruso (Kekuatan ) NU tidak hanya sebagai yang mayoritas jumlah di wilayah Kecamatan Trimurjo. Penulis sendiri menyaksikan bagaimana ribuan nahdliyyin se-Nusantara hadir tidak lain hanya nyadong (mengharap) untuk mendapat berkah NU ?
Kemudian berkah yang bagaimana yang ideal dalam arti tidak sekedar tambahnya kebaikan namun bisa menjadi inspirasi bagi melangkah mewujudkan maslahatul ummat yang menjadi obyek totalitas bersama, apakah dengan KBNU menjadi wasilah-nya atau dengan metode seperti apa?
Bagaimana mencintai NU bukan saja bangga dengan segala labelnya akan tetapi merubah dari pecinta (muhibbun) NU menjadi kekuatan (Ruso) mayoritas tidak sekedar kuantitas dengan banyak jamaahnya menjelma kekuatan sumber daya manusia yang profesional dan kompeten, menjadi kekuatan sosial yang peduli dengan lingkungan, menjadi kekuatan ekonomi yang kompetitif serta kekuatan-kekuatan lainnya? yang siap bersaing dilingkunganya. Sedangkan kita sendiri masih disibukkan dengan seputar urusan internal jamaah yang sifatnya sosial religi, atau dengan kata lain kita asyik dengan dengan hiruk pikuk internal, sementara kita lupa dengan urusan-urusan eksternal yang bersinggungan dengan umat menjadi terabaikan.
Sungguh sudahkah kita siap menjadi the agen transformasi jam’iyyah tersebut ? berlandaskan prinsip NU almuhkaafadzu ‘ala qadimi shaalih wal akhdzu bijadidi ashlaah, yang artinya menjaga manhaj (ajaran-ajaran Aswaja an Nahdilyyah) yang maslahat serta mengambil (mengelola) manhaj baru yang jauh lebih maslahat, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai tradisi ke NU-an. Para pecinta NU (ada pengurus) saking cintanya dengan NU mereka lupa dengan kewajiban-kewajiban yang diamanahkan organisasi dalam membangun jamaah (umatan washatan) yang keluhan ini sempat dilontarkan beberapa kali oleh jajaran pengurus Syuriah dimana tidak diberi kesempatan berembuk semacam planing program, seolah-olah Syuriah cuma pelengkap saja atau bagian do’a (masih banyak lagi menyangkut AD/ART,) dan yang lebih disayangkan lagi pengkaderan estafet kepemimpinan menjadi (jumud) berhenti tidak dibuka ruang untuk generasi muda padahal dari intelektual Pesantren maupun peran sosial publik jelas tidak diragukan kualitasnya. Begitu juga kegiatan dari tahun ke tahun masih monoton tidak berani mengambil langkah satu kajian ilmiah yang berkembang atau kegiatan pemberdayaan yang dibutuhkan masyarakat.
Dikalangan jam’iyyah masih ada rasa sungkan (ewuh pekewuh) timbul dalam menyoroti problematika yang terus berlangsung atau takut dibilang su’ul adab yang sebenarnya menjadi kelemahan bersama kalau mau jujur untuk kreteria pengurus harusnya jangan melenceng dari tradisi keilmuan Pesantren dan ditambah keahlian profesional, kalau mau mengurus nahdliyyin idealnya memang pernah nyantri satu langkah mundur seandainya ini dibiarkan dan bagaimana mungkin mereka mentransfernya ke jamaah rasanya mustahil sebab itu modal dasar untuk kontekstualisasi dalam menjawab fenomena-fenomena umat yang multi komplek diselaraskan dengan perkembangan zaman.
Dengan deskripsi tersebut masih ada harapan agar adanya perubahan dilandaskan keikhlasan,kesadaran dan kebesaran jiwa dalam menggunakan kesempatan suasana Pasca Muktamar ke-34 NU beberapa waktu lalu betul-betul memperbaiki diri (dandani awak) di perhelatan Konferensi Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Kecamatan Trimurjo kurang lebih satu minggu kedepan, jangan dijadikan sekedar siapa yang layak ataupun sekedar ajang pergantian struktural formal tetapi pertanggungjawaban masalah umat mau dibagaimanakan dengan mengesampingkan egoisme pribadi (kelompok) sebab kita sudah banyak tertinggal dalam memberdayakan sendi-sendi potensi internal jamaah, kepedulian dan kepekaan bersama untuk berpartisipasi dalam mempercepat ketertinggalan dalam masalah sosial keagaman yang terjadi harus segera diselesaikan cepat atau lambat tergantung konsensus semua pihak jangan dibiarkan yang akhirnya nanti (bandil) sebagai bom waktu dilingkungan. Dikhawatirkan bisa jadi “NU sebagai ormas akan menjadi asing ditengah masyarakat muslim padahal mereka menjalankan doktrin-doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah an Nahdliyyah (wong Islam dadi asing karo NU atau ajaran NU aneh kanggo wong Islam) ataukah akan menjadi inklusif (terbuka) yang dipegang oleh beberapa kepentingan segelintir orang saja padahal tumbuh dtengah mayoritas masyarakat”. Ya Qahhar Ya Jabbar. Wallahu a’lam.